Toleransi Beragama di kawasan Nusantara pada Abad VII-XV M
Oleh: Saifuddin Alif
Kawasan Nusantara[1] sudah lama dikenal dunia sebagai penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah yang dihasilkan kemudian diperjualbelikan ke berbagai daerah. Dan satu-satunya transportasi untuk itu adalah transportasi laut, maka tidak mengherankan jika nenek moyang bangsa Indonesia terkenal sebagai pelaut yang handal.
Masyarakat Nusantara mengadakan hubungan dagang dengan masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama Cina, India, dan Arab. Selat Malaka menjadi penting peranannya ketika itu karena berfungsi sebagai pintu gerbang lintas negara, artinya setiap bangsa yang ingin mengadakan kerjasama, terutama perdagangan, mau tidak mau harus melewati Selat Malaka, karena inilah satu-satunya rute tercepat dan teraman yang bisa dilalui. Oleh karena itu, kawasan Nusantara merupakan kawasan yang terbuka dan tidak mungkin menutup diri seperti Cina dan Jepang.
Posisi strategis Selat Malaka menyebabkan Nusantara menjadi kawasan yang sangat ramai, bukan saja sebagai pertukaran barang dagangan tetapi juga sebagai pertukaran budaya. Sejarah mencatat bahwa hubungan ini sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum masa pra-sejarah. Konon kerajaan Mesir kunopun sudah menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Nusantara guna membeli salah satu bahan untuk pengawetan mumi, yaitu kapur barus[2].
Agama-agama di Nusantara pada abad ke-7 M
Sejarah mencatat agama pertama yang masuk ke Nusantara adalah agama Hindu sekitar abad ke 4 M, kemudian disusul agama Budha pada abad yang sama. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Tarumanegara di Jawa Barat[3]. Memasuki abad ke-7 M, datanglah agama Islam yang dibawa dari Makkah oleh para pedagang muslim yang singgah di Nusantara[4]. Setidaknya tiga agama inilah yang sudah dianut oleh masyarakat Nusantara di samping agama-agama lokal yang bersifat animisme dan dinamisme[5].
Proses masuknya agama Islam di Nusantara
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Islam masuk ke Nusantara pada awal abad ke-7 M. Hal ini sesuai dengan berita dari dinasti Tang yang menyebutkan adanya hunian wirausahawan Arab muslim di pantai barat Sumatra pada abad ke-7 M. Meskipun masih terbatas di Sumatra, tetapi ini sudah cukup membuktikan bahwa di abad ke-7 M agama Islam sudah masuk ke Nusantara. Fakta di atas juga membuktikan bahwa agama Islam dibawa langsung dari Arab, dan bukan dari Gujarat ataupun Cina[6].
Agama Islam yang disebarkan oleh para pedagang muslim arab ini mendapat sembutan baik dari masyarakat Nusantara. Agama Islam dianggap sebagai liberating forces atau kekuatan pembebas. Kekuatan pembebas yang dimaksud di sini adalah melepaskan manusia dari pengklasifikasian sosial berdasarkan garis darah, seperti sistem kasta dalam ajaran agama Hindu.
Islam memberikan semangat kehidupan dengan penciptaan ekonomi terbuka melalui pasar, dan hal inilah yang melahirkan sistem sosial terbuka. Artinya setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk menaikkan status sosialnya, karena dalam ajaran Islam kehormatan seseorang tidak dinilai dari keturunan melainkan dari ketakwaan dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama[7].
Pasar sebagai kekuatan penyebaran Islam
Pasar berasal dari bahasa arab bazaar, yang berarti tenda tempat berdagang. Sebelumnya tidak ada istilah itu di Nusantara. Karena pengaruh Islam dan kontak niaga dengan Timur Tengah mulailah istilah ini muncul. Akibatnya dikenal istilah: Pasar Minggu, Pasar Senin, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Ahad[8].
Agama Islam disebarkan dari pasar ke pasar, bukan dari istana ke istana seperti agama lain. Jadi bukan masyarakat menjadi muslim karena rajanya muslim, tetapi sebaliknya, seorang raja menjadi muslim setelah melihat fakta bahwa mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Inilah yang terjadi di berbagai wilayah termasuk Nusantara.
Bagi para pedagang muslim, pasar bukan saja tempat untuk mencari uang, tetapi juga sebagai tempat pertukaran bahasa, ekonomi, politik, ideologi, sosial, budaya, dan juga sebagai medan dakwah. Dari dakwah di pasar inilah selanjutnya dibangun masjid, yang nantinya berlanjut menjadi sebuah pesantren sebagai tempat pendidikan bagi umat muslim[9].
Kehidupan masyarakat Nusantara dalam perbedaan agama
Sejak zaman pra sejarah Nusantara telah menjadi pintu gerbang perdagangan lintas negara. Masyarakat Nusantarapun telah terbiasa dengan segala macam perbedaan, baik dari segi suku, ras, bahasa, adat kebiasaan, dan agama. Tidak ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa ketika itu terjadi pertikaian atau bahkan pertempuran antar agama terjadi di Nusantara.
Kebebasan beragama dan budaya saling menghormati sudah ada dan tertanam sejak lama di wilayah ini. Bayangkan, bagaimana mungkin kerajaan-kerajaan Hindu-Budha bisa dengan damai berdiri berdampingan dengan kesultanan-kesultanan Islam tanpa adanya toleransi yang tinggi?
Toleransi ini tidak hanya dalam beragama, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, bahkan etinis Tionghoa dan Arab, yang notabenya sebagai masyarakat pendatang, dilindungi kebebasannya dalam mengembangkan usaha bisnis. Tidak ada arogansi dari penduduk asli, begitu pula sebaliknya, masyarakat pendatang juga tahu diri dengan menjaga hubungan baik dengan warga lokal.
[1] Kata “Nusantara” penulis gunakan untuk menggambarkan kawasan Asia Tenggara saat ini, meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang kata ini.
[2] Kapur Barus berasal dari daerah Barus. Sekarang termasuk ke dalam kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara.
[3] Perlu diperhatikan pendapat dari Mookerji, sejarawan India, yang menyatakan bahwa pengaruh agama Hindu di anak benua India dan negara-negara sekitarnya melahirkan Imperium India, termasuk pula kerajaan Hindu Kutai dan Hindu Tarumanegara. Artinya kedua kerajaan Hindu tersebut bukanlah kerajaan masyarakat sekitar, melainkan termasuk bagian dari kerajaan India. Hal ini dibuktikan dengan prasasti-prasasti yang ditemukan dengan huruf Palawa dan berbahasa Sansekerta, dan keduanya, bahasa dan huruf, tidak digunakan oleh rakyat Sunda maupun Kutai.
[4] Fakta bahwa agama Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M adalah sudah adanya hubungan perdagangan dengan bangsa Arab jauh sebelum masehi, hal ini diperkuat dengan berita dari Dinasti Tang di Cina yang menyebutkan adanya pemukiman Arab muslim di pantai barat Sumatera pada abad ke-7 M.
[5] Lihat Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2008. Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran. Balai Pustaka. Jakarta, hlm. 64.
[6] Ahmad Mansyur Suryanegara, 2013. Api Sejarah. Salamadani. Bandung, hlm. 106-107 menjelaskan tentang berita Cina dari Dinasti Tang tentang datangnya utusan dagang dari Ta Che ke Ho-ling(Kalingga) pada 674 M. Adapun yang dimaksud Ta Che menurut Prof. Buya HAMKA adalah Umayyah dengan pusat pemerintahan di Damaskus (661-750 M). Sedangkan Kalingga, masih menurut beliau, berada di Jawa Barat, dan merupakan Kerajaan Islam, mengingat hukuman potong kaki adalah ajaran Islam, meskipun terhadap putranya sendiri.
[7] Ibid., hlm. 29
[8] Ibid., hlm. 28
[9] Ibid.
Daftar Pustaka
Ahmad Mansur Suryanegara. 2013. Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
Arnold, Thomas W. 1979. Sejarah Dakwah Islam. The Preaching of Islam, Penerjemah Drs. H. A. Nawawi Rambe. Jakarta: Wijaya.
Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Sebuah Pemetaan. Jakarta: LP3ES.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia, edisi pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.