Pemikiran Soekarno tentang Modernisasi Pendidikan Islam

Syamsul Kurniawan. 2009. Pemikiran Soekarno tentang Modernisasi Pendidikan Islam. Kependidikan Islam, vol. 4, No. 1, hlm. 73-105.

Oleh : Saifuddin Alif N

            Artikel ini menjelaskan tentang pemikiran serta ide-ide Soekarno tentang modernisasi pendidikan Islam, khususnya di Indonesia. Pada zaman penjajahan, terutama di awal abad ke 19, Islam dipandang sebagai agama yang anti modernisasi. Hal ini tidak terlepas dari doktrin yang memang sengaja disampaikan kepada masyarakat Indonesia. Penjajah Belanda memandang agama Islam sebagai ancaman politik kristenisasinya, sehingga upaya untuk menghancurkan Islam dilakukan dengan berbagai macam cara.

Agama Islam yang menjadi keyakinan mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa dengan mudah dihilangkan. Oleh karena itu, penjajah Belanda mencoba menghancurkan Islam dengan membentuk lembaga tandingan, selain politik devide et impera atau divede and rule (pecah-belah dan kuasai) yang telah lama digunakan. Sebagai contoh adalah berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang bersifat Jawasentris, baik secara politik maupun keyakinan, untuk menandingi organisasi Djamiat Choir di Jakarta  dan Syarikat Dagang Islam di Surakarta yang telah mempunyai ribuan anggota dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Begitu pula dengan dukungan yang diberikan oleh penjajah Belanda terhadap Taman Siswo pimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sebenarnya kelanjutan dari perkumpulan aliran kebatinan Seloso Kliwon[1]. Organisasi-organisasi tandingan tersebut disetujui oleh penjajah Belanda karena mereka terdiri dari para kaum bangsawan yang menjadi pembantu setia Belanda dalam penjajahan bangsa Indonesia.

Politik devide and rule juga masih dilakukan, seperti apa yang terjadi di Syarikat Islam. Belanda mendatangkan H.J.F.M. Sneevliet untuk menyusup ke dalam Syarikat Islam. Dari penyusupan ini H.J.F.M. Sneevliet menemukan Semaun dan Darsono yang selanjutnya dididik dengan ajaran Marxisme. Kedua orang inilah yang akhirnya menjadikan Syarikat Islam terpecah menjadi dua kelompok, kelompok merah dan kelompok putih.

Upaya Belanda untuk menghilangkan Islam dari Indonesia tidak pernah surut. Tetapi, semakin banyak upaya deislamisasi yang dilakukan Belanda, justru semakin kuat Islam di Indonesia. Maka Belanda mulai mengubah taktiknya dengan memperhalus deislamisas[2]i tersebut. Salah satunya adalah yang dicetuskan oleh Mr. Conrad Th. Van Deventer dengan politik etisnya[3]. Akan tetapi politik etis ini hanyalah upaya untuk memperpanjang penjajahan di Indonesia. Peran ulama dan santri yang anti penjajahan dilumpuhkan dengan politik etis ini.

Pertama dari pendidikan. Pendidikan yang dilaksanakan dalam politik etis hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Hal ini dimaksudkan agar para keturunan raja tidak dididik oleh para ulama yang anti penjajah[4]. Selain itu pembukaan sekolah ini bukanlah untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, melainkan untuk menciptakan tenaga kerja yang terdidik, yang nantinya bisa diajak bekerja sama dengan Belanda. Maka tidak heran jika kebutuhan akan tenaga kerja telah tercukupi, sekolah-sekolah tersebut ditutup karena sudah tidak diperlukan lagi. Masalah pendidikan sangat penting untuk diawasi, karena hanya dari pendidikanlah semangat nasionalisme sangat efektif untuk disampaikan. Maka dari itu diterbitkanlah peratura yang dikenal sebagai ”Ordonansi Guru” (Ordonansi 1905 dan 1925) dan Wilde Schoolen Ordonantie (Ordonansi sekolah liar) pada tahun 1933.

Kedua tentang Emigrasi. Tujuan sebenarnya dari emigrasi adalah untuk memindahkan ulama-ulama di Jawa, agar mereka tidak terus-menerus memprovokasi rakyat untuk melawan Belanda. Perlawanan terhadap penjajah hanya dilakukan oleh para ulama dan masyarakat muslim, karena Islam adalah agama kebebasan yang anti penjajahan. Dalam sejarah tidak pernah ada, kecuali sejarah yang dibelokkan, pemeluk agama selain Islam yang berani melawan penjajahan.

Dan yang terakhir adalah masalah irigasi. Masalah irigasi ini direalisasikan dengan membangun bendungan dan waduk di sekitar kawasan pertanian. Hal ini sebenarnya adalah untuk mempermudah pengawasan terhadap para petani, yang mayoritas muslim. Masalah irigasi diperhatikan karena pertanian adalah sumber ekonomi utama dalam usaha para petani muslim dalam melawan penjajah.

Politik kristenisasi yang dilakukan Belanda sedikit banyak telah membuat ulama menjadi berdebat dengan kaumnya sendiri, mereka lupa dengan musuh bersama yang mereka miliki. Peran Islam perlahan mulai berkurang. Dalam keadaan yang demikianlah Soekarno muncul menawarkan gagasan-gagasannya untuk memajukan Islam.

Sering kali disebutkan di di dalam artikel ini bahwa Islam ketika zaman penjajahan cenderung dipandang kolot dan anti modernitas, tetapi tidak disebutkan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pendidikan Islam ketika itu menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia. Jika pendidikan Islam dipandang kolot, maka memang begitulah keadaan masyarakat Indonesia ketika itu. Sebab lain yang tidak kalah penting adalah adanya diskriminasi dari pemerintah penjajah kepada pendidikan Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat penjajah Belanda memang anti Islam, karena Islam adalah agama yang anti penjajahan[5].

Soekarno memandang bahwa Islam tidak pantas mengalami kemunduran, mengingat masa lalu Islam yang begitu gemilang. Kemunduran Islam, menurut Soekarno, tidak semata-mata karena peran penjajah. Secara terpisah Soekarno menyebutkan beberapa factor penyebab kemunduran itu; pertama, berubahnya demokrasi menjadi menjadi aristokrasi dan republik menjadi dinasti; kedua, taklid[6] yang mematikan kehidupan berpikir dalam Islam; ketiga, banyak berpedoman kepada hadist-hadist dhaif (lemah); keempat, kurangnya kesadaran sejarah.

Gagasan-gagasan Soekarno dalam upaya memajukan Islam antara lain adalah ajakannya untuk terus maju mengikuti zaman, karena Islam adalah agama yang selalu cocok untuk setiap zaman. Dia menambahkan, umat muslim tidak boleh terus terpaku terhadap kejayaan Islam pada masa kekhalifahan. Tata cara bernegara pada saat itu sudah tidak cocok untuk diterapkan di zaman modern ini. Lebih lanjut Soekarno beralasan bahwa umat muslim saat ini melihat kejayaan Islam masa lalu hanya dari “abu dan apinya” saja, tidak dari proses dan semangat dalam menyalakannya.

Selain itu, karakter umat Islam juga harus diperkuat, dalam bahasa Soekarno disebut sebagai mental investment, sehingga tidak dihinggapi penyakit individualism, yang akhirnya menimbulkan korupsi di berbagai bidang.

Demokratisasi pendidikan juga menjadi perhatian Sekarno dalam rangka modernisasi pendidikan Islam. Dia berpendapat bahwa tidak selayaknya seorang guru terus-menerus mendoktrin muridnya dengan satu aliran tertentu yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Hal inilah yang akan menjadikan umat muslim berpikiran sempit dalam beragama, padahal Islam adalah agama yang universal, sesuai dengan situasi dan kondisi di segala zaman.

Soekarno yang dikisahkan begitu luar biasa peranannya. Akan tetapi tidak dikisahkan dari mana dia mendapatkan pemikiran yang tajam semacam itu. Pemikiran Soekarno tentang masa depan bangsa Indonesia secara umum, serta Islam secara khusus, tidak bisa dipisahkan dari peranan H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan guru sekaligus mertua dari Soekarno[7]. Banyak sekali pengaruh yang didapatkan Soekarno dari mertuanya ini, mulai pemikiran, cara berpidatonya, cara berpolitik, sampai penentuan bendera negara Indonesia. Tidaklah mengherankan jika Soekarno begitu semangat dalam membela Islam, meskipun ibunya beragama Hindu, karena H.O.S. Tjokroaminoto adalah seorang ulama sekaligus pimpinan Syarikat Islam, organisasi terbesar dan paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda ketika itu.

Soekarno, terlepas dari segala kontroversinya, adalah seorang pemimpin bangsa yang bisa diterima disemua kalangan. Dia tidak kalah sosialis dari Mao, tetapi dia juga tidak kalah ke-Islamannya dengan pemimpin-pemimpin muslim di Timur Tengah. Keputusan Soekarno untuk menjadi sosialis, sekali lagi, juga tidak lepas dari pengaruh H.O.S. Tjokroaminoto. H.O.S. Tjokroaminoto pernah mengungkapkan bahwa jika agama Islam jauh lebih lengkap dan indah dari ajaran sosialis. Beliau menambahkan, bahwa seorang muslim sejati, dengan sendirinya dia akan menjadi seorang sosialis yang baik.


[1] Perlu diketahui bahwa pergantian nama Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara terjadi setelah dia bergabung dengan perkumpulan aliran kebatinan Seloso Kliwon, kemudian digantinya nama tersebut menjadi Taman Siswo.

[2] Menghilangkan ajaran Islam dari pemeluk-pemeluknya.

[3] Politik etis yang digagas oleh Mr. Conrad Th. Van Deventer dalam majalah De Gids, 1899, dengan judul De Eereschuld-A Debt of Honor (Hutang Kehormatan).

[4] Sebelum ada kebijakan tersebut, anak-anak Sultan di “titip” kan kepada ulama-ulama terkemuka. Seperti anak-anak Sultan Ternate dan Tidore yang di “titip” kan kepada Sunan Ampel di Surabaya.

[5] Diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Hal ini dapar kira lihat dari subsidi yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Bayangkan, Europesche Lager Shool (ELS) dengan murid hanya 2.500 oranga, yang muridnya berasal dari kaum bangsawan dan orang Eropa, mendapatkan subsidi sebesar f.2.677.000. bandingkan dengan sekolah pribumi yang jumlah muridnya mencapai 162.000, hampir semuanya muslim, hanya mendapatkan subsidi f. 1.399.000.

[6] Hanya mengikuti kebiasaan para pendahulu, tanpa memahami dasar dari kebiasaan tersebut.

[7] Banyak sekali yang dipelajari Soekarno dari mertuanya ini, antara lain: 1. Gambar banteng yang digunakan sebagai lambing PNI diambil dari lambing SI pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto., 2. Cara berpidato. HAMKA menyebutkan bahwa pidato H.O.S. Tjokroaminoto sangat luar biasa. Meskipun tanpa pengeras suara, suara beliau mampu didengar oleh ratusan ribu masyarakat yang mendengarkan pidatonya dengan sangat jelas., 3. Penentuan bendera merah putih. Hal ini juga diambil dari bendera dalam lambang Syarikat Islam, yang menggambarkan bendera Rosululullah S.A.W yang berwarna merah putih., 4. Pemakaian identitas bangsa, yaitu kopiah/peci. Peci ini diciptakan oleh H.O.S. Tjokroaminoto sebagai tutup kepala pemersatu bangsa. Dan masih banyak lagi yang lain.

 

Daftar Pustaka

Ahmad Mansur Suryanegara. 2013. Api Sejarah. Bandung: Salamadani.

H.A.R. Tilaar. 2010. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Muhammad Rifa’i. 2010. Sejarah Pendidikan Nasional, dari Masa Klasik hingga Masa Modern. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Rosihan Anwar. 2006. Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta Obor.

Syamsul Kurniawan. 2009. Pemikiran Soekarno tentang Modernisasi Pendidikan Islam. Kependidikan Islam, vol. 4, No. 1, hlm. 73-105.